#rekayasa genetika


Mempercepat Bebas Malaria

Indonesia sedang bekerja keras mengeliminasi penyakit malaria. Targetnya pada 2030, seluruh wilayah kita bebas malaria. Ini sebuah cita-cita yang luar biasa, tetapi sangat mungkin dicapai, bahkan bisa dipercepat jika ilmuwan kita makin diberi ruang oleh pemerintah untuk aktif memberikan solusi tuntas untuk penyakit tropis ini. Apalagi, negeri kita punya sejarah yang cukup meyakinkan tentang pemberantasan malaria. Kita terus berkejaran dengan nyamuk Anopheles, sang pembawa malaria. Kemenkes menyebut pada 2017 masih ada 261.671 kasus malaria dengan korban meninggal 100 orang. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, 266 kabupaten/kota (52 persen) adalah wilayah bebas malaria. Sebanyak 172 kabupaten/kota (33 persen) endemis rendah, 37 kabupaten/kota (7 persen) endemis menengah, dan 39 kabupaten/kota (8 persen) endemis tinggi. Saat ini ada 28 persen penduduk yang tinggal di wilayah endemis dan belum bebas malaria, seperti Provinsi Papua, Papua Barat, NTT, Maluku, dan Maluku Utara. Sisanya 72 persen penduduk tinggal di wilayah yang sudah dinyatakan bebas malaria. Angka API (Annual Parasite Incident) malaria di Indonesia menurun menjadi 0,99 persen per 1.000 penduduk pada 2017. Bandingkan dengan tahun 2009 yang masih 1,85 persen per 1.000 penduduk.

Sumpah Hipokrates di Era Big Data

Rumah Ginjal - Era big data (mahadata) membawa pengaruh tak terelakkan ke mana-mana, termasuk ke dunia kedokteran. Semuanya harus beradaptasi, agar tak terpapar sisi negatifnya. Dunia kedokteran pun harus menghadapi era serba digital ini. Selama ini, para dokter diberi koridor etik yang berhulu pada Sumpah Hipokrates. Sumpah Hipokrates diucapkan Hipokrates sekitar tahun 400 SM. Sumpah ini diadopsi di zaman modern oleh World Medical Association pada Konvensi Jenewa, 1948. Lembaga pendidikan kedokteran di berbagai negara juga mengacu dan merevisi berdasar versi masing-masing.